Jumat, 13 Mei 2011

Hospitalize (1)

Rumah Sakit adalah sesuatu yang sangat “asing” bagi saya. Seumur hidup saya tidak pernah “mengenalnya”. Bukan berarti saya tidak pernah sakit, hanya saja saya memang belum pernah sakit yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit. Kalaupun saya ke Rumah Sakit, biasanya hanya sekedar untuk berkunjung, atau menjaga kerabat saya yang tengah sakit.

Beberapa waktu yang lalu saya akhirnya berkenalan juga dengan yang namanya Rumah Sakit. Ya, saya jatuh sakit, kali ini “cukup” untuk membuat saya harus di rawat di rumah sakit. Ginjal saya mengalami pembengkakan, karena infeksi bakteri dari saluran kencing yang sudah naik ke ginjal. Kira-kira begitulah penjelasan dari dokter yang menangani saya waktu itu. Saya sendiri juga tidak begitu paham. Padahal selama ini saya juga sudah berusaha semaksimal mungkin dalam menjaga kesehatan. Banyak minum air putih, makan makanan yang bergizi ditambah olahraga semua sudah saya lakukan, tapi saya tetap bisa jatuh sakit. Allah memang sudah mengatur demikian sepertinya.

Dua hari sebelum dirawat saya mengalami “anyang-anyangen”, sering BAK dan terasa panas setelah selesai BAK. Hari itu sebenarnya saya memang sudah berencana akan periksa ke dokter jika tetap anyang-anyangen. Tapi kenyataan berkata lain. Pagi hari saya bangun tidur dengan pinggang sebelah kiri yang terasa nyeri, saya tidak berprasangka apa-apa, mungkin salah posisi tidur, pikir saya waktu itu. Saya pun berangkat bekerja seperti biasanya dengan mengabaikan rasa sakit itu. Dua jam di kantor, rasa sakit di pinggang saya semakin parah. Saya memutuskan untuk ke poliklinik meminta tablet pereda nyeri kemudian kembali ke meja untuk melanjutkan pekerjaan saya. Obat belum sempat saya minum, rasa sakit itu kembali menyerang sehingga akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat saja di poliklinik.

Rasa sakit di pinggang sebelah kiri saya semakin menjadi, saya akhirnya menelpon suami (yang sekantor dengan saya tapi di bagian lain) untuk menjenguk saya di poliklinik karena rasa sakitnya sudah tidak tertahankan. Melihat keadaan saya akhirnya suami memutuskan untuk langsung membawa saya ke rumah sakit dengan meminjam mobil perusahaan. Suami sengaja membawa saya langsung ke rumah sakit yang menjadi rekanan asuransi kesehatan kami, agar jika saya harus di rawat inap, kami tidak perlu memikirkan lagi tentang biayanya. Ternyata benar, setelah melewati pemeriksaan urine dan USG, dokter memang menyatakan bahwa saya harus dirawat inap, karena sakit yang saya derita tidak memungkinkan jika hanya sekedar rawat jalan.

Saya ini tidak begitu tahan sakit, takut jarum dan agak kebal pada analgesic (pereda nyeri). Jadi butuh “perjuangan” tersendiri bagi para perawat-perawat yang menangani saya untuk sekedar memasang jarum infus. Saya tegang, otomatis vena di punggung tangan saya jadi hilang. Masuknya jarum infus itu nyeri sekali, dan tidak cukup sekali. Karena infus yang awalnya dipasang ditangan kiri tidak mau jalan, akhirnya infus dipindah di tangan kanan. Belum lagi salah satu dari empat obat yang dimasukkan lewat suntikan ke infus. Rasanya sangat nyeri saat obat itu sudah masuk ke badan.

Awalnya saya tidak begitu memperhatikan dimana saya akan ditempatkan. Saya punya asuransi, dan rumah sakit yang saya tempati adalah rekanan perusahaan asuransi saya. Saya dengar kakak ipar dan suami meminta agar saya di rawat di VIP sesuai pertanggungan asuransi dan meminta obat kelas A, yang terbaik yang ada. Saya masih sangat kesakitan saat itu, hingga saya serahkan semua keputusan pada mereka.

Kamar yang saya tempati cukup nyaman, dilengkapi penyejuk ruangan dan beberapa barag berkualitas, ditambah kamar mandi dalam yang akan memudahkan jika saya butuh BAK ataupun BAB. Saya sempat berpikir berapa biaya yang harus kami keluarkan seandainya kami tidak punya asuransi dan dirawat di kamar seperti ini, belum lagi untuk obat dan biaya lain-lainnya. Uang dari mana, tabungan kami masih kosong dan baru dalam tahap memulai lagi setelah nyaris terkuras untuk biaya pernikahan kami enam bulan sebelumnya. Saya sangat bersyukur dengan keputusan untuk mengikuti asuransi ini. Suami saya benar, kami tidak bisa menjamin akan terus selamanya sehat dan tidak butuh perawatan rumah sakit sama sekali.


Soal keputusan untuk mengikuti asuransi ini, awalnya sempat menimbulkan perbebatan antara saya dan orang tua. Bagi ibu saya, mengikuti asuransi seperti berharap sakit. Dan terutama beliau keberatan dengan preminya yang seperempat gaji saya tiap bulan di awal saya memulai membuka asuransi. Saat itu saya tetap pada keputusan saya, dan ternyata benar, sekarang asuransi saya terpakai juga (meskipun saya tidak ingin memakainya lagi di kemudian hari ). Saya bersyukur tetap mengikuti kata hati saya saat itu, ketimbang menuruti permintaan orang tua.

Selama di rumah sakit hari-hari terasa begitu panjang untuk saya. Mungkin karena tidak ada kegiatan apa-apa, cuma tiduran saja, paling – paling juga nonton tivi. Suami saya tidak membawakan buku, dan tidak membeli koran juga, sementara untuk menulis juga tidak mungkin. Tangan kanan saya yang diinfus bengkak sampai dua kali besarnya. Kaku dan sulit digerakkan. Saya mencoba menulis di handphone suami, mengetik dengan tangan kiri ternyata sulit juga. Pendek kata saya benar-benar bosan. Ditambah lagi tentang ketakutan saya pada jarum suntik. Saya tahu perawat akan memasukkan obat melalui infus, tapi tetap saja saya ngeri melihat jarum suntik yang selalu dijajarkan dengan rapih, lima setiap kalinya, di nampan obat. Benar-benar tidak nyaman.

Allah, ternyata kesehatan adalah nikmat yang tak terkata. Mereka yang sedang sakit pasti menyadarinya. Tapi saat sehat, pernahkah kita, anda atau saya sendiri mensyukurinya? Satu hal yang terpatri dalam diri saya, saya akan lebih bersyukur pada Allah dengan nikmat sehat yang telah Allah berikan pada saya selama ini, dan semoga setelah ini, saya tidak lupa lagi, dan baru mengingatnya saat saya telah terbaring lemah, dalam kondisi sakit.
Tangan saya yang bengkak