Selasa, 06 Desember 2011

Mohon Bantuannya - Apa yang Harus Kami Lakukan

Assalammualaikum Wr Wb,

Mohon saran dan bantuan untuk masalah yang sedang saya dan suami hadapi saat ini, masalahnya seperti ini,
Pada 2 November 2011, suami saya Sirhandinatha, mengajukan surat pengunduran diri di perusahaan tempat kami berkerja (kami bekerja di perusahaan yang sama di Kota Jombang). Menurut peraturan perusahaan,baik karyawan tetap ataupun kontrak yang upahnya melebihi UMR, harus mengajukan surat pengunduran diri 30 hari sebelumnya. Karena suami saya menginginkan untuk mengundurkan diri pertanggal 1 Desember 2011, maka sejak tanggal 2 November 2011, suami sudah mengajukan surat pengunduran diri kepada HRD.

Pada tanggal 7 November 2011, pimpinan perusahaan melalui Sekretaris Bagian Produksi, menanyakan permasalahan mengapa suami saya mengajukan pengunduran diri. Suami menjawab pengunduran diri dikarenakan ingin mendapatkan jenjang karir yang jelas dan penghasilan yang lebih.

Untuk diketahui, suami saya sudah bekerja di perusahaan ini selama hampir tujuh tahun, sejak 4 Mei 2005, dan menduduki posisi yang sekarang (staff) sejak 1 Januari 2007. Meskipun telah bekerja selama hampir tujuh tahun, suami saya masih berstatus sebagai karyawan tdak tetap (kontrak) dengan gaji yang sangat tidak seimbang dengan beban tugas dan waktu kerjanya.

Pada tanggal 16 November 2011, suami dipanggil secara langsung oleh pimpinan untuk ditanyai tentang alasan pengunduran diri. Suami menjeaskan hal yang sama dan pimpinan agar suami mempertimbangkan hal tersebut sekali lagi. Saat itu juga suami saya sudah menjawab bahwa dia akan tetap mengundurkan diri.

Selama selang waktu dari tanggal 17 – 25 November 2011, tidak ada kejelasan mengenai status pengunduran diri suami saya, apakah diterima atau ditolak.Barua pda tanggal 28 November 2011, suami kembali bertanya pada pihak HRD tentang kejelasan pengajuan pengunduran dirinya. Dan pihak HRD mengatakan bahwa pimpinan perusahaan telah menyetujui permintaan pengunduran dirinya per tanggal 1 Desember 2011. Persetujuan ini diberikan pada tanggal 28 November 2011 jam 1 siang.

Pada tanggal 30 November 2011, hari terakhir suami saya bekerja, masih belum ada kejelasan tentang siapa yang akan menggantikan tugas suami saya sebagai Perencana Produksi, sehingga tidak ada serah terima tugas yang dapat dilakukan. Tidak ada konfirmasi atau keterangan apapun yang diberikan oleh HRD dan Pimpinan perusahaan tentang hal ini. Dan pertanggal 1 Desember 2011, suami saya resmi mengundurkan diri dari perusahaan.

Menurut Peraturan Perusahaan, upah karyawan yang mengundurkan diri secara baik-baik, akan diberikan pada tanggal 5 bulan berikutnya setelah pengunduran diri tersebut. Beserta surat referensi kerjanya. Namun kenyataannya sejak saat ini, tanggal 6 Desember 2011, gaji tersebut belum diberikan dan tidak ada informasi apapun dari HRD dan Pimpinan tentang hal ini secara langsung pada suami saya (mantan karyawan).

Saya (sebagai istri yang kebetulan bekerja di tempat yang sama), telah berinisiatif menanyakan tentang Gaji dan Surat Referensi kerja suami sejak tanggal 3 Desember 2011. Saat ini pihak HRD berkata bahwa gaji suami saya akan diberikan secara tunai dan suami diundang datang ke perusahaan pada tanggal 6 Desember 2011.

Tanggal 5 Desember kemarin, kembali saya menanyakan pada pihak HRD kejelasan undangan untuk tanggal 6 tersebut, karena suami baik secara langsung atau melalui saya tidak pernah mendapat undangan itu. HRD menjawab bahwa semua keputusan dilakukan berdasarkan kebijakan pimpinan, dan sampai saat ini pimpinan belum mengeluarkan keputusan tentang surat rekomendasi kerja untuk suami. Tetapi pihak HRD berjanji akan memberikan surat undangan untuk suami, yang akan dititipkan pada saya, pada keesokan hari tanggal 6 Desember 2011.

Hari ini, tanggal 6 Desember 2011, saya dipanggil oleh Sekretaris Pimpinan (Pimpinan WN Asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia dan selalu membutuhkan penerjemah), dan diberitahukan bahwa gaji suami saya masih akan ditahan oleh pimpinan, sampai selesai dilakukannya verifikasi semua data yang ada di komputer suami. Dari apa yang dikatakan oleh sekretaris, tersirat “tuduhan” bahwa suami saya telah “melarikan” data-data penting sehingga data tersebut sangat sulit dicari oleh penggantinya. Saya bertanya sampai kapan waktu pemeriksaan itu, sekretaris menjawab bahwa hal ini tidak bisa ditentukan. Kemudian saya bertanya apa konsekuensi jika ternyata data yang dicari itu tetap tidak ditemukan, sekretaris tersebut tidak mau memberikan jawaban. Dia hanya berjanji untuk menyampaikan pertanyaan saya pada pimpinan, dan akan memberi tahu saya jika sudah ada jawaban.

Teman, upah tersebut adalah hak suami saya. Jika memang perusahaan menemui kesulitan tidak bisa mengorganisir data-data yang ada pada komputer suami saya, bukanlah mereka bisa meminta bantuan suami saya, memanggil suami saya kembali untuk datang ke perusahaan dan mengorganisir semua data yang diperlukan. Alasan lain yang diajukan adalah suami saya belum melakukan serah terima tugas-tugasnya pada pihak HRD. HRD beralasan bahwa selama ini mereka tidak tahu pasti apa tugas-tugas suami saya sehingga tidak bisa mencarikan pengganti. Menurut saya alasan ini sangat tidak masuk akal, telah bekerja selama hampir tujuh tahun dan tidak ada yang tahu selama ini apa yang dia kerjakan, kemudian menjadikan hal tersebut alasan untuk menahan gaji suami.

Selama ini tidak ada itikad baik dari perusahaan untuk memberitahukan alasan penangguhan gaji ini langsung pada suami, dan mengenai data yang dicari, juga tidak ada itikad dari perusahaan untuk memberitahukan data apa yang dicari sehingga membutuhkan verifikasi atau meminta suami saya datang ke perusahaan. Yang dilakukan hanya menahan upah tersebut secara sepihak.

Teman, apa yang harus kami lakukan? Apakah kami harus bersabar sambil menunggu proses verifikasi tersebut selesai, yang tidak ada kejelasan sampai kapan. Atau bolehkah kami menyampaikan tenggat waktu pada perusahaan, dengan memberitahu bahwa kami akan melaporkan hal ini pada dinas ketenagakerjaan jika sampai batas waktu yang ditentukan kami belum menerima kejelasan?

Seperti yang tercantum dalam PP, memang ada aturan bahwa karyawan yang mengundurkan diri dengan tidak baik-baik, gaji dan rekomendasi akan diberikan setelah kontrak kerja berakhir (kontrak kerja suami berakhir 24 Desember 2011). Tetapi, bukankah suami saya telah mengajukan pengunduran diri secara baik-baik sesuai prosedur yang ada di PP. Pada kasus ini, apakah perusahaan tempat kami bekerja bisa dikategorikan telah cidera janji, karena menyalahi aturan yang telah dibuat oleh mereka sendiri. Bagaimana posisi kasus ini secara hukum? Dititik mana kami harus melapor pada Disnaker/ melayangkan gugatan secara perdata?

Mohon saran serta bantuannya, ini kami lakukan bukan karena nominal gaji suami saya yang hanya sekitar 1,8 juta yang ditangguhkan oleh perusahaan. Nominal itu memang sangat kecil bagi beberapa pihak, sehingga banyak yang meminta kami bersabar, bahkan mengikhlaskan nominal uang tersebut. Tapi kami terutama suami merasa diperlakukan dengan sangat tidak adil oleh perusahaan Kami merasa adalah hak kami untuk menuntut keadilan.

Jumat, 25 November 2011

Saya "Menulis" Lagi

Saya dan Membaca

Saya sudah lupa seperti apa detailnya saat pertama kali belajar membaca dulu. Mulai usia berapa saya diajari membaca dan dengan metode apa saya belajar membaca, saya sudah lupa. Yang masih saya ingat, saya sudah lancar membaca saat duduk di TK B tahun pertama (saya TK tiga tahun karena masih terlalu muda untuk masuk SD). Saya ingat saat itu saya sudah membaca Majalah Bobo sendiri dan tidak perlu menunggu sampai ibu saya pulang dari mengajar atau orang yang mengasuh saya, kepada siapa saya dititipkan saat itu, untuk membacakan majalah tersebut pada saya. Saya ingat saat itu saya sering diminta sepupu saya untuk membacakan untuknya karena dia sendiri belum lancar membaca. Ibu sayalah yang mendukung penuh hobi membaca saya itu, menurut beliau, jika seorang anak suka membaca selain wawasannya luas, dia juga akan lebih mudah untuk disuruh belajar jika dia pada dasarnya suka membaca. Maka ibu mendukung hobi saya dengan rutin membelikan majalah anak-anak.

Saya dan Menulis

Saya belajar menulis bersamaan dengan saya belajar membaca, ya iya lah. Masih ingat kok dulu sering rebutan buku sama ibu dan bagaimana hebohnya ibu menyimpan buku-buku bahan mengajarnya agar tidak jadi korban corat-coret saya. Kalau benar-benar menulis, atau membuat tulisan, pertama kali saya lakukan di SD, kelas 1, dengan sebuah diary alias catatan harian. Saya menulis tentang apa saja saat itu, yang saya rasakan dan yang saya alami, saat itu semua terasa mudah saja, mengalir begitu saja. Lalu ditambah dengan hobi surat-suratan dengan Nila, sepupu saya yang tinggal di lain kota. Semua hanya berawal dari hobi dan buat saya menulis itu sangat menyenangkan sekaligus menenangkan.

Saya ingat sewaktu SMP suka sekali membuat tulisan yang menceritakan kembali buku, film atau sinetron yang saya baca atau lihat, tapi ceritanya saya modifikasi sesuai keinginan saya. Dan saya bersama teman saya Agnes (Kawan, dimana kau sekarang?), bahkan pernah punya buku cerita berdua, alias sebuah buku yang berisi tulisan tangan kami berdua. Waktu itu rasanya menyenangkan sekali bisa berbagi cerita dan sudut pandang, mengkhayalkan apa saja yang akan dialami oleh tokoh khayalan kami itu. Sayangnya cerita itu tidak pernah selesai, kami segera ditelan kesibukan masing-masing yang bersiap untuk ujian nasional (waktu itu namanya Ebtanas) untuk masuk SMA.

SMA, saya ingat saya suka sekali mengarang cerita dengan tokoh yang saya ambil dari sahabat-sahabat saya. Pada dasarnya, karakter tokoh itu adalah nyata, tapi apa yang mereka alami dalam cerita saya itulah yang tidak nyata. Saya sampai punya beberapa buku tentang kisah-kisah itu, yang saya tulis tangan di buku tulis biasa. Sayang sekali buku-buku itu entah sekarang dimana, mungkin ikut diloakkan bersama buku-buku lain saat saya mulai kuliah? Sekarang saat keinginan untuk menjadi penulis kembali berkobar dalam diri saya, agak menyesal juga mengapa hasil karya saya itu tidak saya simpan dengan rapi. Tulisan-tulisan itu mungkin bisa jadi modal awal saya untuk jadi penulis beneran.

Kuliah, saya mengambil jurusan Hukum, simple, karena saya yang lemah dalam hitungan sudah bertekad bulat nggak mau kuliah di jurusan yang ada hitung-hitungannya. Saya mengambil jurusan Hukum karena saat SMA saya suka sekali ilmu sosial yang berhubungan dengan politik, sistem kenegaraan dan peraturan. Saya masuk FH Unibraw di Malang tahun 2003, dan satu hal yang langsung membuat saya jatuh cinta setengah mati pada kampus saya adalah begitu banyaknya buku, artikel, jurnal, majalah dan berbagai macam jenis tulisan yang tersedia di Perpustakaan Fakultas, Universitas dan Perpustakaan Umum Kota Malang. Maklum, orang udik ini berasal dari Jombang, dan waktu itu (bahkan sampai sekarang!!) di Jombang belum ada perpustakaan selengkap itu, toko buku yang lengkap sekelas Gramedia dan Toga Mas juga belum ada. Masa kuliah di Malang ini sangat menyenangkan untuk saya. Hobi saya membaca semakin menjadi-jadi karena didukung oleh fasilitas dan sarana yang memadai. Saya pun betah berlama-lama di perpustakaan, bahkan pernah di”usir” dari perpus kota karena mau perpus tutup dan saya masih betah disana.

Di bangku kuliah, kemampuan menulis terasah. Kalau awalnya saya cuma menulis cerita yang asal aja, waktu kuliah saya mulai bisa menulis dalam bentuk artikel, jurnal ilmiah dan makalah untuk tugas – tugas kuliah. Tapi saking banyaknya tugas, saya jadi berhenti menulis cerita fiksi, karena saya lebih asyik menulis artikel-artikel yang menyoroti masalah Hukum yang kemudian saya serahkan ke dosen.

Saya Berhenti Menulis

Setamat kuliah, orang tua saya meminta saya pulang ke Jombang. Alasannya klise, mereka tidak punya biaya jika saya tetap kost dan tinggal di Malang. Dan mereka sama sekali tidak mengijinkan saya bekerja serabutan di Malang untuk membiayai hidup, rencana awal yang akan saya lakukan sebelum saya mendapat pekerjaan yang layak dan sesuai dengan strata pendidikan saya.

Kembali ke Jombang membuat saya jauh dari fasilitas publik yang mendukung hobi saya membaca dan menulis. Waktu itu, tahun 2007, di Jombang cuma ada satu buah perpustakaan umum, dan itu pun tidak selengkap yang ada di Malang. Tempat persewaan novel? Sedikit sekali dan novelnya cuma itu-itu saja. Toko buku, ada satu yang lengkap tapi harga bukunya sangat tidak terjangkau oleh kantong saya yang pengangguran saat itu. Ya saya masih tetap menulis, lamaran pekerjaan (secara pengangguran gitu), tapi saya jadi kehabisan ide dan buntu oleh kebosanan karena aktifitas di rumah yang melulu itu-itu saja.

September 2007, saya diterima bekerja. Mulailah kesibukan baru saya, bekerja di kantor. Dari Senin sampai Jum’at, bahkan terkadang Sabtu dan Minggu kalau harus lembur, dari jam setengah delapan pagi sampai jam setengah lima sore. Sering kali saya sampai di rumah sudah dalam keadaan lelah, dan langsung tidur. Kegiatan menulis catatan harian yang biasanya saya lakukan, juga ikutan berhenti karena saya sudah terlalu ngantuk untuk membuka komputer lagi, apalagi komputer saya ditempatkan di kamar orang tua. Dengan resmi saya berhenti menulis.

Selama Saya Berhenti Menulis

Pekerjaan saya di kantor sama sekali nggak nyambung dengan kuliah saya di Jurusan Hukum. Saya bekerja di bagian Quality, satu-satunya materi kuliah yang masih ada hubungannya dengan pekerjaan saya sekarang cuma perlindungan konsumen. Soalnya bagian quality inilah yang harus memastikan barang yang diproduksi itu kualitasnya benar-benar baik sehingga aman untuk dipakai oleh konsumen. Setiap hari yang saya lakukan adalah membuat list gambar berdasarkan jadwal produksi, membuat perencanaan inspeksi barang, dan menerjemahkan dokumen-dokumen yang berbahasa Inggris. Setiap hari melakukan hal yang sama, duduk manis di depan komputer dari jam setengah delapan pagi sampai setengah lima sore.

Jenuh, iya. Kadang perasaan jenuh itu datang juga melanda. Saat saya jenuh, saya selalu berusaha untuk membaca, apa saja. Peraturan-peraturan tentang keamanan mainan, buku panduan atau apa saja. Salah seorang teman kantor berbaik hati menginstalkan software Microsoft Encarta ke pc saya. Jadi, saat saya bosan, saya bisa mencari hal – hal untuk dibaca disana. Kadang, saat saya harus mengirimkan data ke kantor pusat, saya juga “nyambi” googling di internet, hunting ebook, mengumpulkan berbagai resep masakan, artikel dan menyimpan beberapa halaman blog yang tulisannya menarik menurut saya. Saya sering “mencuri” kesempatan untuk membaca atikel, ebook dan blog yang sudah saya kumpulkan itu saat rasa jenuh melanda, setelah seharian gak ngapa-ngapain sama sekali karena semua sudah selesai saya kerjakan di hari sebelumnya. Cara ini lumayan ampuh untuk membunuh rasa bosan saya dan …. mengisi amunisi di otak saya. Menjaga agar otak saya tetap fresh. Tetap terisi dengan wawasan-wawasan bermanfaat yang tidak semua orang memilikinya.

Banyak membaca, membuat saya kepingin menulis. Karena saya tidak selalu setuju dengan pendapat yang ditulis orang dalam artikel atau blognya. Kadang saat saya membaca sebuah novel, dan saya tidak suka dengan jalan ceritanya, timbul keinginan untuk merubah sendiri jalan ceritanya sesuai keinginan saya. Sama seperti saat saya kecil dulu. Saya bersyukur selama berhenti menulis saya tidak berhenti untuk membaca, dengan demikian ternyata saya tetap bisa menulis. Setidaknya otak saya masih tetap terisi amunisi untuk menulis apapun yang saya mau.

MULAI MENULIS LAGI

Berhubungan dengan klien dan kantor pusat membuat saya akrab dengan internet. Akrab dengan yang namanya “blog” atau catatan harian di Internet. Kebanyakan membaca blog, membuat saya pengen ngeblog juga. Membuat catatan harian untuk konsumsi publik di internet dan share bersama blogger-blogger lainnya. Blog haruslah berisi catatan-catatan kita si pemilik blog, boleh tentang apa saja. Dan blog tidak bisa dibiarkan kosong dong. Harus ada isinya. Ya catatan-catatan itu. Ya tulisan- tulisan itu. Dan karena saya sudah mempunyai blog sendiri, maka mulailah saya menulis lagi.

Saya memang belum bisa teratur menulis. Tulisan saya pun masih banyak yang ala kadarnya. Di awal pembuatan blog, saya malah cuma mengisinya dengan resep-resep masakan yang sudah saya uji coba beserta foto-fotonya. Tapi saya berharap, lambat laun blog saya akan berisi tulisan-tulisan saya yang lebih “berisi”. Saya belum punya sambungan internet pribadi di rumah, dan ya saya memang punya modem, tapi itu dulu, sekarang modem itu sudah berpindah tangan ke adik saya karena sinyal provider di kontrakan saya yang lemotnya minta ampun. Ketiadaan sarana ini membuat saya harus ke Warnet jika saya pengen ngeblog. Ngeblog di kantor, atut, bisa runyam klo ketahuan make internet tuk kepentingan pribadi.

Meskipun demikian saya bersyukur sudah punya blog, dan semangat menulis saya yang kembali lagi. Seperti saat ini saya sedang mencoba untuk menuliskan riwayat kepenulisan saya he he he. Nggak banget. Bukan tidak mungkin, dan siapa tahu, suatu hari nanti saya bisa terus menulis dan serius untuk menulis, dan menjadi seorang penulis. Karena sama seperti kecintaan saya untuk membaca. Saya pun cinta menulis. Saya ingin bisa terus untuk menulis, apapun, yang ada di otak saya. Tetap menulis dan berbagi hal-hal yang saya tuliskan. Semangat …. Tuk mulai menulis lagi …. Bismillah.

Rabu, 01 Juni 2011

Empat Hari yang Mengingatkan Saya

Ingat lima perkara,
Sebelum lima perkara,
Sehat sebelum sakit,
Muda sebelum Tua,
Kaya sebelum Miskin,
Lapang sebelum Sempit,
Hidup, sebelum mati ….

(Demi Masa, Raihan)


Saya sakit, dan untuk pertama kalinya seumur hidup saya, harus mendapatkan perawatan di Rumah Sakit. Padahal pagi harinya saya masih segar bugar dan bisa berangkat ke kantor untuk bekerja seperti biasanya. Tapi justru di kantor itulah saya jatuh sakit, dan akhirnya, diantar suami dengan meminjam mobil kantor, dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif mengingat perawat di polikinik di perusahaan saat itu sudah angkat tangan. Saya divonis mengalami pembengkakan ginjal akibat infeksi saluran kencing, dan harus dirawat empat hari lamanya. Empat hari yang mengingatkan saya, akan nikmat yang telah Allah berikan pada saya selama ini, yang masih suka lupa saya syukuri.

Saat saya sakit, tangan kanan saya diinfus (vena ditangan kiri saya tidak tampak, sehingga perawat memasang infus di tangan kanan), dan setelah beberapa waktu, bengkak dengan sukses dan sangat sulit untuk digerakkan. Padahal nyaris semua aktifitas harus dilakukan dengan tangan kanan, bukan? Secara otomatis untuk semua aktifitas yang biasanya dilakukan dengan tangan kanan, saya harus belajar menggunakan tangan kiri, atau dibantu suami. Makan, mandi, mengambil sesuatu bahkan saat ada nyamuk yang hinggap di tangan kiri saya, saya sulit menepuknya. Selama ini pernahkan saya bersyukur untuk tangan kanan saya yang sehat? Tidak, saya lebih sering lupa.

Hari kedua dirumah sakit saya kena marah perawat karena darah naik ke selang infus. Proses pembersihannya memakan waktu dan menimbulkan rasa nyeri. Penyebabnya sepele, karena saya sholat dengan “sempurna”. Saya tahu ada rukshah untuk orang sakit seperti saya, saya bisa sholat dengan berbaring atau duduk. Waktu itu saya sholat sambil duduk, tapi melakukan takbir dengan “sempurna” (anda tahu kan maksud saya). Dan karena terlalu banyak bergerak itulah darahnya jadi naik ke selang. Allah, betapa lalainya saya dari menyadari kalau bisa melakukan sholat dengan sempurna adalah nikmat-Mu yang tak terhingga.


Selama empat hari di rumah sakit, suami saya dengan begitu sabar dan telaten merawat saya. Di usia pernikahan kami yang masih berbilang bulan, saya sangat bersyukur telah diberi Allah hadiah seorang suami sepertinya. Sungguh hadiah terindah dalam hidup saya, dan saya merasa sangat beruntung.

Empat hari, dan tidak satu haripun saya lewati tanpa mengingat Allah dan segala nikmat yang telah ia berikan pada saya. Sakit ini, saya bersyukur, telah mengingatkan saya yang kerap lupa ini. Saya tahu Allah sayang pada saya, sangat sayang pada saya. Sehingga saya diingatkan, agar kembali kepada-Nya. Agar memperbaiki kualitas diri saya dalam beribadah kepada-Nya (ngaku nih …). Semoga saya bisa lebih ingat lagi, dan lebih bersyukur lagi, bukan hanya saat saya sakit, terutama disaat saya sehat.

Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?

Jumat, 13 Mei 2011

Hospitalize (1)

Rumah Sakit adalah sesuatu yang sangat “asing” bagi saya. Seumur hidup saya tidak pernah “mengenalnya”. Bukan berarti saya tidak pernah sakit, hanya saja saya memang belum pernah sakit yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit. Kalaupun saya ke Rumah Sakit, biasanya hanya sekedar untuk berkunjung, atau menjaga kerabat saya yang tengah sakit.

Beberapa waktu yang lalu saya akhirnya berkenalan juga dengan yang namanya Rumah Sakit. Ya, saya jatuh sakit, kali ini “cukup” untuk membuat saya harus di rawat di rumah sakit. Ginjal saya mengalami pembengkakan, karena infeksi bakteri dari saluran kencing yang sudah naik ke ginjal. Kira-kira begitulah penjelasan dari dokter yang menangani saya waktu itu. Saya sendiri juga tidak begitu paham. Padahal selama ini saya juga sudah berusaha semaksimal mungkin dalam menjaga kesehatan. Banyak minum air putih, makan makanan yang bergizi ditambah olahraga semua sudah saya lakukan, tapi saya tetap bisa jatuh sakit. Allah memang sudah mengatur demikian sepertinya.

Dua hari sebelum dirawat saya mengalami “anyang-anyangen”, sering BAK dan terasa panas setelah selesai BAK. Hari itu sebenarnya saya memang sudah berencana akan periksa ke dokter jika tetap anyang-anyangen. Tapi kenyataan berkata lain. Pagi hari saya bangun tidur dengan pinggang sebelah kiri yang terasa nyeri, saya tidak berprasangka apa-apa, mungkin salah posisi tidur, pikir saya waktu itu. Saya pun berangkat bekerja seperti biasanya dengan mengabaikan rasa sakit itu. Dua jam di kantor, rasa sakit di pinggang saya semakin parah. Saya memutuskan untuk ke poliklinik meminta tablet pereda nyeri kemudian kembali ke meja untuk melanjutkan pekerjaan saya. Obat belum sempat saya minum, rasa sakit itu kembali menyerang sehingga akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat saja di poliklinik.

Rasa sakit di pinggang sebelah kiri saya semakin menjadi, saya akhirnya menelpon suami (yang sekantor dengan saya tapi di bagian lain) untuk menjenguk saya di poliklinik karena rasa sakitnya sudah tidak tertahankan. Melihat keadaan saya akhirnya suami memutuskan untuk langsung membawa saya ke rumah sakit dengan meminjam mobil perusahaan. Suami sengaja membawa saya langsung ke rumah sakit yang menjadi rekanan asuransi kesehatan kami, agar jika saya harus di rawat inap, kami tidak perlu memikirkan lagi tentang biayanya. Ternyata benar, setelah melewati pemeriksaan urine dan USG, dokter memang menyatakan bahwa saya harus dirawat inap, karena sakit yang saya derita tidak memungkinkan jika hanya sekedar rawat jalan.

Saya ini tidak begitu tahan sakit, takut jarum dan agak kebal pada analgesic (pereda nyeri). Jadi butuh “perjuangan” tersendiri bagi para perawat-perawat yang menangani saya untuk sekedar memasang jarum infus. Saya tegang, otomatis vena di punggung tangan saya jadi hilang. Masuknya jarum infus itu nyeri sekali, dan tidak cukup sekali. Karena infus yang awalnya dipasang ditangan kiri tidak mau jalan, akhirnya infus dipindah di tangan kanan. Belum lagi salah satu dari empat obat yang dimasukkan lewat suntikan ke infus. Rasanya sangat nyeri saat obat itu sudah masuk ke badan.

Awalnya saya tidak begitu memperhatikan dimana saya akan ditempatkan. Saya punya asuransi, dan rumah sakit yang saya tempati adalah rekanan perusahaan asuransi saya. Saya dengar kakak ipar dan suami meminta agar saya di rawat di VIP sesuai pertanggungan asuransi dan meminta obat kelas A, yang terbaik yang ada. Saya masih sangat kesakitan saat itu, hingga saya serahkan semua keputusan pada mereka.

Kamar yang saya tempati cukup nyaman, dilengkapi penyejuk ruangan dan beberapa barag berkualitas, ditambah kamar mandi dalam yang akan memudahkan jika saya butuh BAK ataupun BAB. Saya sempat berpikir berapa biaya yang harus kami keluarkan seandainya kami tidak punya asuransi dan dirawat di kamar seperti ini, belum lagi untuk obat dan biaya lain-lainnya. Uang dari mana, tabungan kami masih kosong dan baru dalam tahap memulai lagi setelah nyaris terkuras untuk biaya pernikahan kami enam bulan sebelumnya. Saya sangat bersyukur dengan keputusan untuk mengikuti asuransi ini. Suami saya benar, kami tidak bisa menjamin akan terus selamanya sehat dan tidak butuh perawatan rumah sakit sama sekali.


Soal keputusan untuk mengikuti asuransi ini, awalnya sempat menimbulkan perbebatan antara saya dan orang tua. Bagi ibu saya, mengikuti asuransi seperti berharap sakit. Dan terutama beliau keberatan dengan preminya yang seperempat gaji saya tiap bulan di awal saya memulai membuka asuransi. Saat itu saya tetap pada keputusan saya, dan ternyata benar, sekarang asuransi saya terpakai juga (meskipun saya tidak ingin memakainya lagi di kemudian hari ). Saya bersyukur tetap mengikuti kata hati saya saat itu, ketimbang menuruti permintaan orang tua.

Selama di rumah sakit hari-hari terasa begitu panjang untuk saya. Mungkin karena tidak ada kegiatan apa-apa, cuma tiduran saja, paling – paling juga nonton tivi. Suami saya tidak membawakan buku, dan tidak membeli koran juga, sementara untuk menulis juga tidak mungkin. Tangan kanan saya yang diinfus bengkak sampai dua kali besarnya. Kaku dan sulit digerakkan. Saya mencoba menulis di handphone suami, mengetik dengan tangan kiri ternyata sulit juga. Pendek kata saya benar-benar bosan. Ditambah lagi tentang ketakutan saya pada jarum suntik. Saya tahu perawat akan memasukkan obat melalui infus, tapi tetap saja saya ngeri melihat jarum suntik yang selalu dijajarkan dengan rapih, lima setiap kalinya, di nampan obat. Benar-benar tidak nyaman.

Allah, ternyata kesehatan adalah nikmat yang tak terkata. Mereka yang sedang sakit pasti menyadarinya. Tapi saat sehat, pernahkah kita, anda atau saya sendiri mensyukurinya? Satu hal yang terpatri dalam diri saya, saya akan lebih bersyukur pada Allah dengan nikmat sehat yang telah Allah berikan pada saya selama ini, dan semoga setelah ini, saya tidak lupa lagi, dan baru mengingatnya saat saya telah terbaring lemah, dalam kondisi sakit.
Tangan saya yang bengkak

Kamis, 14 April 2011

Puding Jagung Lapis Coklat Ha Ha Ha

Weekend kemarin tiba-tiba aja pengen berkarya di dapur bikin apa gitu. Mumpung libur dan pengen aja menambah kemampuan di bidang perdapuran yang memang minim banget. Pingin buat snack atawa kudapan yang enak dimakan saat udara mulai panas di siang hari. Celingak-celinguk di kulkas mungil milik mommy, kira-kira apa ya yang bisa disulap jadi sesuatu yang seger … gitu, eh, nemu jagung manis sebiji sisa kemarin bikin dadar jagung. Trus ada agar – agar coklat plus agar-agar plain, tuing, knapa gak bikin pudding aja … nyoba resep pudding jagung yang itu tuh, trus dilapis sama pudding coklat, kan enak, kebetulan juga ada susu kental manis sachet buat campurannya.

Mulailah berkarya di dapur mungil tercinta dengan mengerahkan segenap tenaga (he he he). Pertama kali nie buat pudding jagung. So kupatuhi semua instruksi yang ada di resepnya. Plek pokoknya sama sang resep. Klo si pudding coklat aku ngarang-ngarang aja, tapi hasilnya, lah, kok malah enak pudding coklatnya ya ( he …)

Pas mateng pudding jagungnya sih kliatan oke, rasanya manis, tapi kek kurang apa… gitu. Diaduk-aduk terus biar santannya gak pecah trus hasilnya bagus. Aku nyiapin dua loyang coz memang udah rencana buat dua, satu tuk dirumah dan satunya lagi mo dibawa ke rumah Mamak. Yang buat di rumah, maunya buat dua lapis aja, jagung diatas, trus ntar bawahnya pudding coklat. Klo yang buat Mamak mertua tercinta ntar berlapis-lapis.

Loyang kedua yang buat Mamak hasilnya oke punya, karena lapisannya tipis so cepet beku dan antara pudding coklat dan jagung gak nyampur. Kecelakaan justru terjadi di Loyang pertama. Puding jagungnya yang ku kira udah beku ternyata belum beku sempurna, so saat kutuang pudding coklat diatasnya, permukaannya langsung pecah sodara-sodara ….. dan dengan sukses pudding coklatnya nyampur dengan pudding jagung ….. untung nuangnya baru satu sendok sayur…


Seperti inilah jadinya saat udah beku (harap maklum, masih belajar masak, belajar motret juga…)

He he, kayak lapis tiga yak …
Yah, namanya juga masih taraf belajaran, trus pas mamak ngicipi rasanya, katanya pudding coklatnya dah enak, tapi pudding jagungnya manisnya enek gitu, gak bisa gurih. Dan menurut beliau lagi, semua bahan klo pake santan harus ditambah sedikit garam (1/2 sdt) gitu, biar gurih dan mantappp. Makasih mamak, akan kuingat slalu nasehat darimu …

RESEP PUDING JAGUNG
Source: dapurdiva@blogspot.com

Bahan :
1 buah jagung manis, sisir dan blender sampe lembut sama 1 gelas air (225 cc)
1 sachet agar – agar plain (5 gr)
3 gelas (675 cc) air/ santan/ susu low fat (aku pake santan 1½ gelas dan air 1½ gelas juga)
1 sdm vanilla essence (aku gak pake)
7 sdm gula pasir (aku pake 6 sendok aja coz jagungnya udah manis)
½ sdt garam (di resep awal gak ada so kmarin aku juga gak pake)

Cara Membuat :
Siapkan cetakan, basahi dengan air, biar puding gampang kluarnya.
Campur blenderan jagung sama air/susu/santan (klo aku jagungnya tak saring dulu biar kulit arinya gak ikut nyampur).
Panaskan diatas api sedang.
Cairkan agar-agar dengan sedikit air, masukkan.
Masukkan sisa bahan yg lain (gula pasir, vanilla essense), aduk rata.
Tunggu sampe mendidih, jangan lupa sesekali diaduk.
Tuang ke cetakan, biarkan dingin.

Klo mnurut mamak mertuaku apaun yang ada santannya harus dikasih garam, biar gurih dan gak enek. Belum nyoba sih, tapi kmarin memang hasil pudding jagungnya tuh manis, tapi agak enek. Yeah, kapan-kapan nyoba lagi ah.

RESEP PUDING COKLAT SEDERHANA
Source : ngarang …………. he he he …

Bahan:
1 sachet agar-agar coklat (aku pake nutrijel)
1 sachet susu coklat kental manis
4 gelas air
Gula sesuai selera

Cara buatnya:
Campur semua bahan sambil didihkan diatas api sedang.

Kwetiau Goreng Campur Sawi



Bahan:
200 gr kwetiau
250 gr ayam
200 gr sawi
200 ml kaldu ayam
1 buah tomat
2 batang bawang daun
¼ bawang Bombay
4 siung bawang putih
5 siung bawang merah
1 sdt merica
1 sdt minyak wijen
1 sdm saus tiram
2 sdm minyak goreng
Gula dan garam secukupnya
Margarin tuk menumis secukupnya

Cara Buatnya:
1. Rebus kwetiau sampai lunak (kira2 3 menit), tiriskan, campur dengan minyak goreng agar tidak mengempal.
2. Rebus ayam sampai lunak, potong dadu, sisihkan.
3. Haluskan 2 siung bawang putih, merica dan garam, sisihkan.
4. 2 siung bawang putih dan 5 siung bawang merah digeprak (dimemarkan), lalu rajang halus, sisihkan.
5. Bawang Bombay dan bawang daun diiris tipis, sisihkan.
6. Panaskan margarine, masukkan bawang putih dan bawang Bombay, tumis sampai layu dan harum, masukkan bawang merah dan bumbu halus, tumis sampai harum.
7. Tambahkan kaldu, biarkan sampai mendidih, kemudian berturut – turut masukkan sawi yang sudah dicuci bersih dan dipotong-potong, irisan tomat dan daun bawang, kemudian kwetiau.
8. Tambahi saus tiram dan minyak wijen, cicipi rasanya, masak hingga tanak dan bumbu meresap.